Minggu, 09 Januari 2011

Harga Sebuah Pelayanan


Sebuah Pengantar:
“Kenapa Kami Dibedakan? Kami tak Punya Pilihan…”

(Balada Kelas 3)

Sebuah rumah sakit. Biasa saja. Di sebuah kota di Jawa Tengah. Hanya satu dari sekian banyak rumah sakit yang tengah menjamur di kota ‘itu’. Entah karena tuntutan kebutuhan, atau kejelian melihat peluang oleh segelintir orang. Benar-benar menggiurkan…betapa tidak, orang tentu akan melakukan apa saja di kala sakit dan nyatanya kesehatan itu benar-benar tidak murah, supply and demand law berlaku, saat permintaan meningkat, harga pun ‘bermain’. Harga dari sebuah pelayanan.

Tapi tunggu, pelayanan macam apa yang ditawarkan? Pelayanan kelas satu atau kelas ‘abal-abal’ (asal-asalan-red)? Seharusnya, dengan menjamurnya rumah sakit di kota ‘itu’ dan di mana pun kini, pelayanan terhadap pasien mesti ditingkatkan untuk tetap dapat bersaing dengan rumah sakit lain. Tentu saja peningkatan sudah dilakukan, tapi kembali lagi, untuk siapa? Pertanyaan retoris (tak membutuhkan jawaban-red). Untuk tuan dan nyonya pemilik pundi-pundi uang, tentu saja. Untuk orang biasa tak berpunya, maaf, tunggu dulu!

Sepenggal cerita itu…

Terbangun di bangsal rumah sakit di kota itu. Ah, tak kusangka akhirnya bisa jatuh juga. Ternyata badan ini tak kuat menahan beban tugas yang benar-benar menggunung. Tugasku sebagai seorang abdi masyarakat. Ya, aku seorang polisi. Dan pengamanan menjelang Natal kemarin benar-benar menguras energi dan pikiranku, hingga kini aku terbaring di sini. Masih pening, tapi segera ingin kulangkahkan kakiku dari rumah sakit ini. Bukan apa-apa, hanya sedikit merasa tidak nyaman. Bukan..bukan sepenuhnya salah rumah sakit ini. Mungkin karena aku ada di bangsal ini. Ya, di bangsal dan mendapat pelayanan kelas tiga, dimana biasanya hanya digunakan oleh pasien yang menggunakan ASKESKIN. Memang sudah biasa diglobalisasi seperti itu, buktinya saat aku masuk, pertanyaan dari keluarga pasien di sebelahku, “Pake ASKESKIN juga ya Mas?”, hanya bisa tersenyum pada akhirnya. Dokter pun bercelutuk,”Ini beneran polisi?kok di bangsal gini?” Suster-suster juga berkomentar,”Kok nggak milih di kamar aja, Mas?kan polisi bisa pake ASKES”.

Memang hanya celetukan kecil, tapi menurutku tetap tidak patut diucapkan oleh seorang pelayan publik. Pelayan publik harusnya memberikan kenyamanan kepada masyarakat karena itu memang sudah menjadi tugas mereka. Apalagi di bidang kesehatan, dimana seharusnya orang-orang yang turut memberikan pelayanan memberikan dukungan moril untuk mempercepat kesembuhan pasien. Ah, day dreaming! Sebenarnya bukan hanya celutukan-celutukan itu saja yang menggangguku. Perlakuan-perlakuan ‘ganjil’ lainnya juga kulihat. Di bangsal ini, jam kunjungan dokter adalah sekitar pukul 22.00, jam dimana seharusnya para pasien sudah beristirahat. Pasien-pasien pun berjejalan di bangsal ini dan tiap ranjang hanya dibatasi oleh tirai, tentu tak dapat beristirahat dengan baik. Tak sedikit pula pasien yang ‘dibentak’ oleh dokter gara-gara melanggar pantangan dokter, perlakuan yang kurasa tak akan didapatkan oleh para pasien ‘kelas atas’. Pasien di bangsal juga ada yang berkata,”Kalau ama yang di bangsal gini nyuntiknya lebih sakit lho Mas.” Ada-ada saja. Bukan, aku bukan dalam kapasitas merasa iri saat ini. Hanya merasakan sedikit diskriminasi. Apa bedanya? Entah. Tapi yang bisa dipastikan kami kelas tiga mengalami diskriminasi pelayanan. Bagi orang-orang yang lebih mampu dalam finansial tentu tak akan memilih berada di kelas tiga, tapi bagaimana ceritanya dengan orang-orang yang memang tidak memiliki pilihan. Aku kembali tertidur.

(Cerita didapat dari kakak seorang teman yang baru saja dirawat di rumah sakit di kota ‘itu’ saat libur Natal kemarin, tokoh ‘aku’ mengacu pada kakak seorang teman yang memang berprofesi sebagai  seorang polisi. Pencantuman cerita bukan sebagai fokus utama tapi hanya sebagai pengantar menuju pembahasan selanjutnya).

Catatan Penulis : Harga Sebuah Pelayanan

Rumah Sakit itu cukup megah, bercat putih elegan. Merupakan salah satu rumah sakit besar di kota ‘itu’. Berjalan memasuki rumah sakit ini, terasa sangat lapang, halaman depan luas dan area parkir pun luas, menjamin kenyamanan pengunjung. Lebih dalam lagi ke dalam gedung, terasa sekali kesibukan di dalamnya. Di barisan terdepan, resepsionis dan petugas informasi terlihat dengan ramah melayani setiap pengunjung yang membutuhkan informasi mengenai ruangan pasien dan sebagainya. Lorong-lorong rumah sakit tampak bersih, petugas kebersihan pasti telah bekerja dengan baik. Kamar mandi dan toilet juga cukup bersih. Sebuah kenyamanan yang memanjakan pengunjung tentunya. Ketika memasuki kamar pasien, takjub. Bersih, ber-AC, ada televisi di dalamnya, kamar itu memiliki dua pintu dan pintu yang lain langsung menuju ke teras luar sehingga jika pembesuk yang datang lumayan banyak tidak berjejalan di dalam kamar tapi ada juga yang bisa menunggu di teras karena juga disediakan bangku di teras itu. Jam besuk pun tidak dibatasi, dan pelayanan dari dokter dan para perawat terlihat lebih ramah. ‘Wah’ bukan? Tentu kawan, It’s VIP, no doubt! Kontras sekali dengan sepenggal cerita di kelas tiga. Ya, harga dari sebuah pelayanan.

Menilik dan menelisik tentang kualitas pelayanan publik. Tidak mudah memang. Penulis mengambil rumah sakit di kota ‘itu’ sebagai objek. Terlalu dini dan awam sebenarnya untuk men’judge’ tentang kualitas pelayanan dari sebuah institusi secara detail dan menyeluruh hanya dengan pengamatan sepintas mata dan cerita-cerita yang masuk ke penulis. Apalagi kerap kali pelayanan-pelayanan yang kurang mengenakkan datang dari segelintir oknum, jadi tidak bisa kemudian melakukan generalisasi bahwa semua yang ada di dalam sebuah institusi berbuat hal serupa. Tapi mungkin stereotipe masyarakat kita memang seperti itu, contoh akurat adalah kasus Gayus yang akhirnya membuat masyarakat umum beranggapan bahwa semua pegawai pajak  ‘tidak bersih’. Data-data akurat juga berusaha diperoleh tapi mungkin tak cukup mampu menghadirkan penilaian yang komprehensif. Mohon dimaklumi.

Pelayanan publik sendiri dapat diartikan sebagai pemberian layanan(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi Negara. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah mengalami suatu perkembangan yang dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Dalam kondisi masyarakat sepert itu, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif. Pelayanan professional disini tentu mengindikasikan bahwa seharusnya tidak ada diskriminasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Seorang pelayan publik  sudah selayaknya tidak membeda-bedakan orang yang dilayaninya, entah berdasarkan harta, kedudukan, agama, suku, ataupun yang lainnya.  Diskriminasi pelayanan ini yang menjadi pokok masalah (setidaknya yang dapat penulis temukan) dari pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit di kota itu. Diskriminasi antara pelayanan untuk pasien ‘kelas bawah’ dengan ‘kelas yang lebih atas’. Fenomena harga dari sebuah pelayanan, jika mau pelayanan yang lebih baik harus merogoh kocek yang lebih dalam. Sah saja memang, misalnya dalam bisnis kereta api atau perhotelan, tapi tidak untuk suatu hal yang benar-benar esensial yaitu kesehatan. Sebenarnya masih bisa ditolerir pula hal-hal semacam itu di rumah sakit, tapi harusnya hanya sebatas pada kualitas kamar mungkin, tidak untuk pelayanan dari dokter dan perawat. Pasien ‘kelas bawah’ pun berhak mendapatkan pelayanan yang baik, sesuai etika pelayanan yang harus diberikan oleh seorang pelayan publik, dalam hal ini dokter dan perawat.

Konsep lain pula yang mengemuka adalah mengenai “pelayanan minimalis”, tidak terfokus pada rumah sakit di kota ‘itu’ saja tapi mungkin sudah menjamur di institusi pelayanan publik lainnya, menunjukkan lemahnya pemahaman pejabat publik akan hakikat pekerjaannya. Selain itu adanya paradigma “atasan-bawahan” yang menghasilkan suatu ketergantungan dan persepsi bahwa melayani masyarakat (memenuhi hak-hak masyarakat) itu adalah pemberian dan bukan bagian dari tugas dan tanggungjawab mereka. Sebuah budaya paternalistik, dimana pelayan publik terkesan berada di posisi yang lebih atas.

Kita Butuh Solusi…

Menghilangkan atau setidaknya mengurangi ‘budaya pelayanan minimalis’. Di instansi pemerintah pun tengah digalakkan dengan melakukan Reformasi Birokrasi. Budaya paternalistic harus dihapus dengan menanamkan kepada para pelayan publik bahwa melayani masyarakat bukan merupakan suatu pemberian kepada masyarakat tetapi sebuah tugas dan tanggungjawab yang mulia. Putting people first, menjadikan kepuasan masyarakat sebagai prioritas utama, tanpa mempedulikan kelas dan kedudukan masyarakat tersebut.

Sumber pendukung:
www.ahmadheryawan.com/.../3669-menyoal-kualitas-pelayanan-publik.html -
www.docstoc.com/.../MENYOAL-KUALITAS-PELAYANAN-PUBLIK - 
KRjogja.com

salah satu ruangan di rumah sakit di kota 'itu'

Senin, 22 November 2010

Kenapa Mesti “42”?


Hehe..aneh pan aye nanyanye?? Gara-garanye ni aye abis dengerin all tracks di albumye coldplay, pipa la pida (hehe gag ding, viva la vida and the deaths and all his friends), emang ude agak lame si, tapi dulu pan ‘ngeh’nya cuman ama violet hills ame viva la vida doang. Nah abis dengerin semue tracknya ada satu nyang bner-bner ear-catching bgt, ngena bgt dah tu lagu di kuping awam aye, tittled 42. He eh 42. Kog bisa ada judul kyk gt? Lalu mulai aye selami liriknye nyang ternyata serem (tentang kematian gitu sodare, jadi keinget ame akang Gerrard Way nyang juga inspired by the death gara-gara ngeliat tragedy 9/11..).
Kang Chris Martin mule nyanyi ni:

Those who are dead are not dead
They?re just living my head
And since I fell for that spell
I am living in as well, oh

Time is so short and I’m sure
There must be something more

Those who are dead are not dead
They’re just living my head, oh
And since I fell for that spell
I am living there as well, oh

Time is so short and I’m sure
There must be something more

You thought you might be a ghost
You thought you might be a ghost
You didn’t get to heaven but you made it close
You didn’t get to heaven but you made it close

You thought you might be a ghost
You thought you might be a ghost
You didn’t get to heaven but you made it close
You didn’t get to heaven but you, oh, oh, oh, oh

Those who are dead are not dead
They’re just living my head, oh


dari hasil pencarian gag penting nyang ude aye lakuin, hasilnye:
1.       “…Ra ngerti, lha emang ngono og. Gene kok yo enek judule “yellow” kui ngopo?”
(temen aye nyang seneng ame coldplay, rambutnye aje uda inspired by him,hehe, tidak memberi jawaban)

2.       Dear fellow posters on metro lyrics, I know all of you are having trouble understanding 42s lyrics and why it twas named 42 but I have no trouble in giving you all my opinion and thoughts. I myself need to understand everything as I come across it like most of you it's a sickness really. So 42's lyrics really means death isn't really an end and you can be sure of that , time is so short that you can't even call it life there's got to be more and you know you going to go somewhere might not be heaven might not be he'll might not be a ghost but you know it's somewhere cause you know it's not over. 42s name may be as relevent as the Mona Lisa smile or just a mystery that coldplay hopes we'll figure out in the future.
(nyang ni dari Ola Matagi, ngasi comment di metrolyrics, agak susa masuk di otak aye nyang gag ada filosofi-filosofinye, trus ape hubungannye ame Monalisa’s smile? Tapi dari semue comment nyang ade this one is the best).

3.       The answer is in the lyrics and most importantly in the math, why 42? well its pretty obvious to me, 4x2=8 and what do you get when you lay down the number 8? you get the universal symbol for infinity. He's figured out that we are trapped in this "reality" and we will only be free when we die. We will be trapped for infinity but infinity ends when we die. 
(dari nahua, soo detail ato mungkin nahua dosen math kali sodare, pake perkalian, ajib dah, wadu rumit bgt bkin lagu pake itung-itungan)

Conclusion:
Apa yaa…(dg logat iklan susu nyang ada tokoh Cilla ntu..lagi happening bgt di murai sistah), it’s always interesting to know lot of opinion about what 42 really meaning. Yaah at least abis baca pendapat orang-orang tadi aye kagak mikir kalo isi tu lagu tu pengen mati di usia 42 ato uda mati di taon 42 gtu. The lyris I like the most was “Time is so short and I’m sure,There must be something more”.
Soo, segera berbuat kebaikan sebelum habis waktu kita.
“…Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan…”
(Q.S. Al A’raf:56)





Paramore's song "My Heart": Dedicated to God (?)

honestly, i have to post someting related to what i've learned from class, u know, some kind about accounting, tax, ethic, ok i'll do it then.
i'm listening to "my heart" now. have u ever heard this song? awesome right?
At first I just fell in love with this song bcoz I like paramore, esp Haley’s voice, her little voice (“cempreng” in Indonesian).hmmh, really stuck in my head..and the lyrics:this heart it beats, beats for only you…soo touchy (too much-red).

hey!!do not think that i'm a kind of mellow girl that really like this type of song. firstly, after u hear it u will think that this one is just ordinary song that describe a girl that finally realized that she really in love with her boyfriend and wanted him back so bad.
but wait...
this can be such a religious song too..HOW COULD??
Check out the the lyrics first…

I am finding out that maybe I was wrong
That I've fallen down and I can't do this alone

Stay with me, this is what I need, please?

Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?

I am nothing now and it's been so long
Since I've heard the sound, the sound of my only hope

This time I will be listening.

Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?

This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you

This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours

This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
(My heart, it beats for you)

This heart, it beats, beats for only you (It beats, beats for only you)
My heart is yours (My heart is yours)

This heart, it beats, beats for only you (Please don't go now, please don't fade away)
My heart, my heart is yours (Please don't go now, please don't fade away)

(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go, please don't fade away) 
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is...


Such a religious (if u think it that way), just think that “you” here refers to our God. It doesn’t matter about what ur religion is, I just think that this one is a universal song for everyone…
Dear God, always hope in every single day that THIS HEART BEATS FOR ONLY YOU…


Top of Form
Bottom of Form

Sabtu, 20 November 2010

Bingung cari materi akpem semester 5? FIND OUT HERE!!

we're about to have our mid test!!
Ada modul SAK buat nyang pd males potokopi (FYI, klo potokopi bisa 18,500...), donlot here..
Isinya lumayan lengkap buat UTS ini, included jurnal standar buat SAKUN, SAU, SAI, ttg neraca, LRA, dan komponen-komponennya...Ada juga akuntansi untuk aset-aset lancar (kata pak dosko, UTS nya ampe ini) > persediaan sama piutang...
Selamat belajar!