Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diperoleh dari :
a. Penerimaan perpajakan;
b. Penerimaan negara bukan pajak; dan
c. Penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
PNBP merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Menurut pasal 1 UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Pasal 2 ayat (1) UU PNBP menyatakan kelompok PNBP meliputi:
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah;
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) UU PNBP menyatakan bahwa kecuali PNBP yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis PNBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, diluar jenis PNB yang diuraikan di atas, dimungkinkan adanya PNBP lain melaui UU. Dalam melaksanakan ketentuan tersebut, pemerintah menetapkan PP no. 73 tahun 1999 tentang Tata cara Penggunaan PNBP yang bersumber dari kegiatan tertentu. Menurut pasal 4 ayat (3) PP tersebut, kegiatan tertentu itu meliputi:
a. Penelitian dan pengembangan teknologi;
b. Pelayanan kesehatan;
c. Pendidikan dan pelatihan;
d. Penegakan hukum;
e. Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan
f. Pelestarian sumber daya alam.
Perguruan Tinggi yang secara struktural berada di bawah pengawasan Departemen Pendidikan nasional dapat memungut dana dari masyarakat berupa uang pendaftaran, uang kuliah, uang praktik laboratorium, dll. Mengapa Perguruan Tinggi yang dipilih dan bukan satker yang lain? Alasan logisnya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pendidikan dewasa ini, tidak hanya pada pendidikan dasar saja tapi sampai pada pendidikan tinggi. Dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap pendidikan, perguruan tinggi kini menjadi primadona dan dengan demikian dapat dengan mudah menarik dana dari masyarakat terkait jasa yang telah diberikan. Keberadaan perguruan tinggi ataupun pendidikan tinggi setingkat lainnya kini bagai jamur di musim penghujan, sesuai dengan hukum supply-demand, semakin banyak permintaan maka penawaran pun akan meningkat.
Beberapa perguruan tinggi besar statusnya telah beralih menjadi Badan Hukum Milik Negara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP), di antaranya UI, UGM, ITB, dan IPB. Peraturan pemerintah tahun 2000 tentang penetapan PTN sebagai Badan Hukum Milik negara (BHMN) mengatur bahwa penerimaan PTN yang berasal dari masyarakat bukan merupakan PNBP dan berarti tidak perlu disetor ke kas negara. Layakkah demikian?
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada PTN yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tidak sejalan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Landasan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan mendasari pemikiran di atas. Berdasar tiga UU yang dimaksud pada poin sebelumnya, seluruh PNBP wajib disetor ke kas negara. Seluruh PNBP harus dikelola dalam sistem APBN. Namun, peraturan pemerintah tentang penetapan PTN sebagai BHMN mengatur bahwa penerimaan PTN yang berasal dari masyarakat bukan merupakan PNBP. Penetapan UI sebagai BHMN melaui PP no. 152 tahun 2000, UGM melalui PP no. 153 tahun 2000, ITB melalui PP no. 154 tahun 2000, dan IPB melalui PP no. 155 tahun 2000.
Ketentuan lain mengatur bahwa walaupun PNBP memiliki sifat segera harus disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari PNBP yang telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu oleh instansi yang bersangkutan. Pemberian ijin penggunaan dan besaran jumlah ditentukan oleh Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan, setelah pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan yang sedikitnya dilengkapi dengan :
a. tujuan penggunaan dana PNBP antara lain untuk meningkatkan pelayanan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas kerja serta meningkatkan efisiensi perekonomian;
b. rincian kegiatan pokok instansi dan kegiatan yang akan dibiayai PNBP;
c. jenis PNBP beserta tarif yang berlaku; dan
d. laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan untuk 2 tahun anggaran mendatang.
Kegiatan penatausahaan sebagian dana dari PNBP ini dilakukan oleh pimpinan instansi/bendaharawan penerima dan bendaharawan pengguna, yang ditunjuk setiap awal tahun anggaran. Apabila terdapat saldo lebih maka pada akhir tahun anggaran wajib disetor seluruhnya ke kas negara.
Ketentuan di atas bukan berarti ada PNBP yang tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN, melainkan PNBP dapat digunakan terlebih dahulu untuk kepentingan satker dengan persetujuan Menteri Keuangan dan akan tetap dipertanggungjawabkan dalam APBN. Hal ini berbeda dengan ketentuan PP penetapan PTN sebagai BHMN yang menyatakan bahwa penerimaan dimaksud tidak masuk dalam sistem APBN. Jadi, ketentuan di atas bukan pembenaran atas tidak dimasukkannya penerimaan PTN berstatus BHMN ke dalam APBN.
PNBP Perguruan Tinggi
Sesuai ketentuan dalam PP no. 73 tahun 1999 tentang Tata cara Penggunaan PNBP yang bersumber dari kegiatan tertentu, salah satu kegiatan tertentu tersebut adalah layanan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi adalah salah satu unit kerja pemerintah yang memberi pelayanan kepada masyarakat dan mempunyai karakteristik dan sifat yang berbeda dari satker pada umumnya. Karakteristik penerimaan yang dilakukan sebagai satker juga memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai satuan kerja, perguruan tinggi menerima berbagai jenis PNBP dengan jadwal penerimaan tertentu dengan jumlah yang kadang-kadang tidak dapat diperkirakan.
Pasal 4 UU PNBP menyatakan bahwa seluruh penerimaan negara bukan pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara, jika tidak diserahkan sesuai dengan aturan, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang berat, sanksi bagi yang tidak menyetorkan PNBP ke kas negara dinyatakan dalam pasal 21, yaitu dipidana 6 tahun dan denda paling banyak 4 kali jumlah PNBP terutang.
Agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan PNBP, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan no. 115/KMK.06/2001 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP pada Perguruan Tinggi yang intinya adalah PTN dilarang keras menggunakan langsung semua PNBP dan pengelolannya sesuai dengan mekanisme APBN.
Jenis PNBP Departemen Pendidikan Nasional diatur lagi dalam PP no. 22 tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jenis PNBP Departemen Pendidikan Nasional terdiri dari:
1. Penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan;
2. Penerimaan dari karcis masuk museum;
3. Penerimaan dari kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
4. Penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
5. Penerimaan dari sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga pemerintahan atau lembaga non pemerintah.
Berdasarkan aturan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa PNBP di Departemen Pendidikan Nasional adalah semua penerimaan terkait dengan pelaksanaan pendidikan dan kontrak serta sumbangan dalam bentuk hibah baik dari perorangan maupun pemerintah atau lembaga non pemerintah.
Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah bahwa mekanisme pengelolaan PNBP dengan sistem APBN sangat menyulitkan bagi sebuah PTN karena harus menunggu persetujuan melalui Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Keuangan dan DPR RI. Proses revisi memerlukan waktu lama dan persetujuannya sering terjadi pada akhir tahun. Mekanisme dan prosedur yang demikian tidak cocok dengan ritme kegiatan PTN yang harus melayani jasa pendidikan. Oleh karena itu beberapa PTN telah mengambil langkah untuk menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dengan harapan sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur penetapan PTN sebagai BHMN, penerimaan dari masyarakat bukan termasuk dalam PNBP.
Jelas nampak adanya dua ketentuan yang saling bertentangan mengenai penerimaan yang diterima oleh PTN yang berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Solusi
Melihat persoalan pengelolaan keuangan yang semakin ketat, PTN tidak mungkin melanggar peraturan pengelolaan keuangan negara dengan alasan keterpaksaan untuk memberi pelayanan atau alasan lainnya. Beberapa PTN berupaya untuk mengusulkan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) seperti halnya pengelolaan keuangan rumah sakit umum.
Pengusulan PK BLU ini sangat terbuka sesuai dengan UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP no. 23 tahun 2005 tentang PK BLU. Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan surat Dirjen DIKTI no. 500/D/T/2008, tanggal 19 Februari 2008. Isi surat tersebut terdiri dari 2 butir penting, yaitu:
1. Perguruan Tinggi BHMN tidak perlu memasukkan PNBP ke dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Perguruan Tinggi BHMN;
2. Perguruan Tinggi Negeri yang lain diminta untuk segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjadi Badan Layanan Umum.